Jumat, 26 Oktober 2012

Bayang-Bayang Senja

                                   
“Kiki!” suara khas itu terdengar lagi seperti biasa.
Kiki membuka jendela villa lebar-lebar. Senyum pun mengembang, ketika melihat Vino di depan pagar villanya.
        “Ki, jalan-jalan yuk? Mumpung masih pagi.” Ajak Vino sembari merapatkan jaket menghindari udara pegunungan yang menggigit.
        “Iyaa bentar..” balas Kiki yang langsung menghampiri Ibu di dapur.
        “Bu, Kiki bade jalan-jalan heula nya?” Kiki di rumah memang selalu berbahasa Sunda.
        “Sareng saha Ki?” tanya Ibunya sambil membubuhkan sedikit garam pada masakannya.
        “Sareng Vino, bu” jawab Kiki sambil mencium tangan Ibunya.
        “Oh Vino.. kahade nya?”
        “Muhun bu..” Kiki berlari menuju pria berbadan tegap yang selalu menemani harinya.
Udara pagi itu, sangatlah dingin. Membuat kebanyakan orang enggan untuk mandi pagi. Kiki menghabiskan waktu liburannya di kota yang sejuk ini. Ciater. Ya, di kota inilah Kiki dilahirkan. Namun, Kiki harus pindah ke Surabaya untuk mengikutu tugas sang Ayah. Beruntung, ia masih memiliki sebuah Villa disini.
Di dekat Pabrik, mereka berpapasan dengan para gadis pemetik daun teh.
“Vino, kita ke kebun teh yuk? Balap petik daun teh!” ujar Kiki bersemangat
“Ayo! Siapa takut!” jawab Vino sambil berlari meninggalkan Kiki. Gadis manis itu pun mengejar langkah Vino. Mereka berdua memetik teh sambil bergurau. Sejuknya udara pagi itu, seakan membuat hati mereka ikut berembun.
“Ki, kita naik sepeda yuk?” tiba-tiba tangan Vino berhenti memetik.
“Hah? Sejak kapan kamu berani naik sepeda lagi?” Kiki menjawab seakan meremehkan. Sebelah alisnya terangkat.
“Hmm.. sejak hadirnya kamu di hidupku.. hahaha..” Vino berlari dan Kiki mengejarnya. Mereka berdua tenggelam dalam kabut.
Kini, secara perlahan kabut itu menipis. Memperlihatkan tawa Kiki yang lepas karena bangga. Vino duduk di boncengan sepeda sambil memeluknya erat karena ketakutan.
Vino.
Kiki.
Vino trauma naik sepeda.
Kiki tidak.
Kabut kembali menelan mereka. Kini, mereka berada di taman bunga.
“Vino.. kenapa tiap hari kamu ajak aku kesini?” tanya Kiki heran.
“Suatu hari nanti, kamu pasti akan tahu.. kenapa aku suka ajak kamu kesini.” Vino tersenyum penuh misteri.
Kiki.
Vino.
Kiki suka bunga.
Vino tidak.
Kabut kembali terlihat. Tapi kini, kabut itu ada di mata Kiki. Pandangannya kosong. Pikirannya melayang menembus asa. Ia kembali teringat peristiwa 13 tahun silam. Saat ia dan Vino masih bersama. Saat itu, ia harus kembali ke Surabaya dan sebuah kecelakaan menimpa Vino. Kabut menghilangkan Vino dibaliknya.
Kiki berjalan menelusuri Villa. Disana, ia menemukan sepeda Vino. Kiki tahu, Vino trauma naik sepeda. Vino hampir terjatuh ke jurang bersama sepeda itu karea Vino yang kurang hati-hati. Kiki tersenyum. Ia mengerti. Jika Vino tidak trauma, mungkin Vino tak akan memeluk erat dirinya saat bersepeda. Vino ditakdirkan oleh kabut untuk trauma, agar Kiki bisa mengobati trauma itu.
Ia melangkahkan kaki menuju taman bunga. Harum semerbak pun tercium. Aroma yang sama setiap mereka berdua disini. Kiki  duduk  di sebuah ayunan. Matanya tak lepas memandangi cat ayunan yang telah pudar dan digores Vino dengan batu tajam,”Kiki cebol” dibawahnya terdapat goresan Kiki,”Vino item”. Kiki kembali tersenyum bersamaan dengan semilir angin yang mengantarkan aroma mawar. Ia mengerti. Ia sangat menyukai bunga, dan Vino tidak suka. Karena sesungguhnya, Vino tak akan memetik bunga untuk dirinya sendiri. Vino tak akan pernah mencium bunga itu.
Tetapi Vino akan memetikkan bunga untuk Kiki. Membiarkan harum bunga itu pertama kali dicium olehnya. Kiki mengalihkan pandangannya ke langit jingga yang sedang menyemburatkan warna keemasannya yang indah. Kini, tidak ada lagi Vino dan Kiki. Yang tersisa hanyalah dirinya dan tatapan hangat Vino yang terlukis indah dalam awan di langit senja.
*Karya Desi Yuliya*
       

1 komentar:

  1. keren ceritanya





    salam geoool blog :
    http://geoool.blogspot.com/

    BalasHapus