“Kiki!” suara khas
itu terdengar lagi seperti biasa.
Kiki membuka jendela villa lebar-lebar. Senyum
pun mengembang, ketika melihat Vino di depan pagar villanya.
“Ki,
jalan-jalan yuk? Mumpung masih pagi.” Ajak Vino sembari merapatkan jaket
menghindari udara pegunungan yang menggigit.
“Iyaa
bentar..” balas Kiki yang langsung menghampiri Ibu di dapur.
“Bu,
Kiki bade jalan-jalan heula nya?” Kiki di rumah memang selalu berbahasa Sunda.
“Sareng
saha Ki?” tanya Ibunya sambil membubuhkan sedikit garam pada masakannya.
“Sareng
Vino, bu” jawab Kiki sambil mencium tangan Ibunya.
“Oh
Vino.. kahade nya?”
“Muhun
bu..” Kiki berlari menuju pria berbadan tegap yang selalu menemani harinya.
Udara pagi itu,
sangatlah dingin. Membuat kebanyakan orang enggan untuk mandi pagi. Kiki
menghabiskan waktu liburannya di kota yang sejuk ini. Ciater. Ya, di kota
inilah Kiki dilahirkan. Namun, Kiki harus pindah ke Surabaya untuk mengikutu
tugas sang Ayah. Beruntung, ia masih memiliki sebuah Villa disini.
Di dekat Pabrik,
mereka berpapasan dengan para gadis pemetik daun teh.
“Vino, kita ke
kebun teh yuk? Balap petik daun teh!” ujar Kiki bersemangat
“Ayo! Siapa
takut!” jawab Vino sambil berlari meninggalkan Kiki. Gadis manis itu pun
mengejar langkah Vino. Mereka berdua memetik teh sambil bergurau. Sejuknya
udara pagi itu, seakan membuat hati mereka ikut berembun.
“Ki, kita naik
sepeda yuk?” tiba-tiba tangan Vino berhenti memetik.
“Hah? Sejak kapan
kamu berani naik sepeda lagi?” Kiki menjawab seakan meremehkan. Sebelah alisnya
terangkat.
“Hmm.. sejak
hadirnya kamu di hidupku.. hahaha..” Vino berlari dan Kiki mengejarnya. Mereka
berdua tenggelam dalam kabut.
Kini, secara
perlahan kabut itu menipis. Memperlihatkan tawa Kiki yang lepas karena bangga.
Vino duduk di boncengan sepeda sambil memeluknya erat karena ketakutan.
Vino.
Kiki.
Vino trauma naik
sepeda.
Kiki tidak.
Kabut kembali
menelan mereka. Kini, mereka berada di taman bunga.
“Vino.. kenapa
tiap hari kamu ajak aku kesini?” tanya Kiki heran.
“Suatu hari nanti,
kamu pasti akan tahu.. kenapa aku suka ajak kamu kesini.” Vino tersenyum penuh
misteri.
Kiki.
Vino.
Kiki suka bunga.
Vino tidak.
Kabut kembali
terlihat. Tapi kini, kabut itu ada di mata Kiki. Pandangannya kosong.
Pikirannya melayang menembus asa. Ia kembali teringat peristiwa 13 tahun silam.
Saat ia dan Vino masih bersama. Saat itu, ia harus kembali ke Surabaya dan
sebuah kecelakaan menimpa Vino. Kabut menghilangkan Vino dibaliknya.
Kiki berjalan
menelusuri Villa. Disana, ia menemukan sepeda Vino. Kiki tahu, Vino trauma naik
sepeda. Vino hampir terjatuh ke jurang bersama sepeda itu karea Vino yang
kurang hati-hati. Kiki tersenyum. Ia mengerti. Jika Vino tidak trauma, mungkin
Vino tak akan memeluk erat dirinya saat bersepeda. Vino ditakdirkan oleh kabut
untuk trauma, agar Kiki bisa mengobati trauma itu.
Ia melangkahkan
kaki menuju taman bunga. Harum semerbak pun tercium. Aroma yang sama setiap
mereka berdua disini. Kiki duduk di sebuah ayunan. Matanya tak lepas
memandangi cat ayunan yang telah pudar dan digores Vino dengan batu tajam,”Kiki
cebol” dibawahnya terdapat goresan Kiki,”Vino item”. Kiki kembali tersenyum
bersamaan dengan semilir angin yang mengantarkan aroma mawar. Ia mengerti. Ia
sangat menyukai bunga, dan Vino tidak suka. Karena sesungguhnya, Vino tak akan
memetik bunga untuk dirinya sendiri. Vino tak akan pernah mencium bunga itu.
Tetapi Vino akan
memetikkan bunga untuk Kiki. Membiarkan harum bunga itu pertama kali dicium
olehnya. Kiki mengalihkan pandangannya ke langit jingga yang sedang
menyemburatkan warna keemasannya yang indah. Kini, tidak ada lagi Vino dan
Kiki. Yang tersisa hanyalah dirinya dan tatapan hangat Vino yang terlukis indah
dalam awan di langit senja.
*Karya Desi Yuliya*
keren ceritanya
BalasHapussalam geoool blog :
http://geoool.blogspot.com/